HUKUM ATAU POLITIK YANG MENJADI PANGLIMA
Oleh:Agus Suhendar
Penulis adalah Pimred Balance News
Penegakan hukum sebagai panglima agaknya belum menjadi jargon popular dalam sejarah
perjalanan berbangsa dan bernegara.Yang paling akrab ditelinga publik selama ini adalah
politik sebagai panglima
Reformasi sebenarnya punya salah satu tujuan strategis,yakni membalikkan fenomena politik
sebagai panglima menjadi hukum atau tepatnya penegakan hukum sebagai panglima.
Artinya,dalam praktis bernegara,hukum harus dijadikan peganganut utama dalam setiap
menyelesaikan persoalan,bukannya penyelesaian politis yang menjadi dasar orang
merumuskan konsep politik sebagai panglima.
Ketika reformasi bergulir,dan rezim Orde Baru tumbang,beberapa saat kemudian pengamat
politik Eep Saifulloh Fatah menulis:presiden dimasa mendatang harus dipagari secara kuat
oleh hukum yang dilahirkan oleh legislator yang terpilih secara demokratis.
Pernyataan dosen FISIP Universitas Indonesia itu mengisyaratkan perlunya hukum dijadikan
panglima dalam perjalanan bangsa kemasa depan.
Dalam konteks penegakan hukum sebagai panglima itu pulalah pernyataan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono dalam harus dimaknai dan ditempatkan dalam koridor perjalanan
bernegarak kedepan.
Dalam kesempatan itu Presiden mengatakan akan terus melindungi kebebasan warga negara
dalam menjalankan ibadah sebagaimana diamanatkan dalamkonstitusi.
Semua kelompok dan golongan memiliki hakserta kewajiban yang sama.Ini juga telah menjadi
nafas konstitusi diTanah Air.
Penegakan hukum untuk menjamin ketertiban bernegara memang menjadi tugas kalangan
polisi dan aparat penegak hukum lainnya seperti jaksa dan hakim dipengadilan.
Tapi efektivitas penegakan itu akan mencapai kondisi optimal ketika masyarakat yang menjadi
sasaran penegakan hukum itu ikut andil dalam proses penegakannya.
Sekuat apapun penegak hukum menjalankan fungsi dan tugasnya,jika mayoritas masyarakat
melakukan penggerogotan terhadap aturan lewat tindakan main hakim sendiri atau melakukan
represi terhadap kelompok minoritas,maka bisa diprediksi bahwa hasilnya takakan maksimal.
Hal seperti itulah yang terjadi dalam aksi anarkis dimanapun dan kapanpun.Tak cuma di
wilayah domestik tapi juga diwilayah manca negara.
Berbagai konflik dan tindakan anarkis sulit hanya bisa dilakukan penyelesaiannya oleh penegak
hukum semata.
Perlu andilnya masyarakat secara lua suntuk memelihara harmoni agar konflik dan anarkisme
terhidar dalam perjalanan bangsa kedepan.
Di Indonesia,seperti yang juga disadari betul oleh para elit negeri ini,konflik yang dipicu oleh
persoalan iman masih menjadi persoalan yang bisa meledak sewaktu-waktu.
Ancaman konflik semacam itu sudah menjadi konsekwensi logis dari kondisi Indonesia yang
merupakan bangsa dengan warga negara yang multi etnis dan multi kepercayaan.
Kesadaran bahwa semua warga,dari berbagai kelompok manapun,baik yang mayoritas
maupun minoritas,harus saling memengang rasa merupakan imperatif utama.
Tak ditoleransi muncul perasaan bahwa kelompok yang satu berada diatas kelompok yang lain.
Semua kelompok mempunyai hak dan kewajiban yang sama.Inilah esensi negara hukum,
negara yang memandang semua warganya setara didepan konstitusi.
Kesetaraan didepan hukum ini tentu dalam praktiknya tidak seratus persen merepresentasikan
keadilan.Hubungan antara persamaan didepan hukum dan nilai keadilan sering dilematis.
Pakar hukum JE Sahetapy sering mengingatkan soal itu.
Karena persamaan semacamitu maka ketika dipraktikkan akan terjadi ketidak adilan.
Buktinya sangat sederhana,seorang yang berharta akan dengan mudah memenangi perkara di
pengadilan karena kemampuannya menyewa para pengacara jempolan sangatlah mahal sementara warga miskin akan kesulitan untuk mendapatkan pengacara yang ulung.
Namun ikhtiar untuk mempersempit jurang ketidak adilan semacam itu telah dijembatani oleh
hadirnya lembaga-lembaga bantuan hukum yang bertugas untuk memberikan layanan -cuma,meskipun hasilnya tak memuaskan,tapi jikalau yang bersangkutan
sanggup menyewa pengacara terkemuka.
Rentannya bangsa majemuk seperti Indonesia terhadap ancaman konflik antar iman kini
tampaknya akan menjadi kepedulian ekstra penyelenggar negara,khususnya mereka yang
berwenang dalam penegakan hukum,menegaskan tekadnya untuk menjaga harmoni antar
umat beragama.
Selama ini kalangan aktivis hak asasi manusia melihat aksi-aksi main hakim sendiri yang
dilakukan kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas dalam berbagai peristiwa /konplik diTanah Air
sebagai cermin sikap pembiaran dari aparat penegak hukum.
Presiden ingin menghapus kesan tentang sikap pembiaran yang dilakukan aparat terhadap
tindakan anarkisme mayoritas terhadap minoritas itu.
Tekad Presiden sebagai kepala negara itu harus diterjemahkan dilapangan secara konkret oleh
aparat penegak hukum untuk tidak membiarkan lagi anarkisme seperti aksi perusakan dan
penyegelan rumah-rumah ibadah milik kelompok minoritas.
Sesuai dengan konstitusi, kata Presiden, negara akan terus menjalankan tugas melindungi hak hak warga negara dalam menjalankan ibadah dan kepercayaan masing-masing.
Barangkali untuk merealisasikan perkataan Presiden itu perlu diwacanakan bahwa setia paksi
kaum mayoritas yang melakukan anarkisme terhadap minoritas adalah merupakan refleksi
upaya merongrong keutuhan bangsa yang berdiri diatas warga yang majemuk.
Untuk itu,hukuman terhadap mereka yang melakukan teror maupun anarki berlandasan konflik
antar iman perlu diperberat sebagaimana hukuman yang dijatuhkan pada mereka yang
melakukan rongrongan atau aksi subversif terhadap keutuhan negara Kesatuan Republik Indonesia.
Penegakan hukum yang diupayakan secara optimal akan melahirkan tatanan masyarakat yang
solid sehingga upaya semacam itu sudah menjadi keniscayaan.
Disitulah signifikan sipenegakan hukum sebagai panglima,untuk menggantikan paradigma dan
praksis politik sebagai panglima yang pernah terjadi diTanah Air,ter istimewa saat perjuangan
reformasi belum menuai hasil pada era sebelum1998.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar