(Penulis adalah seorang Purnawirawan Polri dan sekarang berprofesi sebagai Advokat segaligus sebagai Praktisi Hukum)
Catatan
Ringkas Penegakan Hukum Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
(KUHAP) yang dianggap sebagai master piece anak bangsa dalam produk
perundang-undangan, banyak pihak berahap penegakan hukum – khususnya hukum
pidana – menuju ke arah yang lebih baik dan bermartabat. Penegakan hukum yang
baik dan bermartabat diharapkan mampu memberikan keadilan bagi semua pihak dan
golongan, yang tentunya bukan hanya bagi para korban dugaan tindak pidana
melainkan juga keadilan dan perlindungan hak-hak hukum bagi setiap orang yang
disangka dan/atau diduga melakukan suatu tindak pidana. KUHAP sendiri
memberikan batasan sangat kuat untuk melindungi hak-hak tersangka dan/atau
terdakwa agar tidak ada lagi tindakan aparatur penegak hukum yang tidak
berperikemanusiaan dalam penanganan suatu dugaan tindak pidana.
Semua
ini berangkat dari pertimbangan bahwa pada dasarnya tersangka dan/atau terdakwa
bukan sekedar obyek dalam penegakan hukum pidana melainkan salah satu subyek
hukum pidana itu sendiri. Selain itu, hal ini sangat erat kaitan dengan asas
hukum pidana yang menegaskan “seorang tersangka/terdakwa tidak boleh dinyatakan
bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” atau
dikenal dengan istilah “praduga tidak bersalah” sehingga dirasa perlu aturan
hukum acara yang mampu memberikan perlindungan fundamental terhadap hak-hak
tersangka/terdakwa. Diperlukannya produk perundang-undangan untuk melindungi
hak-hak tersangka/terdakwa dalam proses peradilan pidana merupakan prinsip yang
harus selalu dikedepankan guna tercapainya keseimbangan posisi antara para
pihak dalam perkara pidana untuk menghasilkan putusan yang berkeadilan.
Meski
demikian, pemenuhan hak-hak fundamental tersangka/terdakwa bukanlah dasar untuk
memberikan kebebasan tersangka/terdakwa dan kemudian akan menimbulkan kerugian
terhadap korban atau keseimbangan masyarakat itu sendiri. Namun, kenyataan
dilapangan tidaklah seindah untaian kata-kata serta buaian manis pasal-pasal
KUHAP. Ternyata, masih banyak praktek penegakan hukum dalam proses peradilan
pidana yang sangat mengabaikan hak-hak tersangka/terdakwa hingga saat ini.
Padahal, proses hukum yang adil dalam system peradilan pidana ibarat 2 (dua)
sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya.
Bahwa
proses hukum yang adil merupakan jiwa atau ruh dari system peradilan pidana
yang ditandai dengan perlindungan secara penuh terhadap hak-hak asasi manusia
termasuk dalam hal ini adalah hak-hak asasi tersangka/terdakwa. Akibat belum
berjalan proses hukum yang adil dalam peradilan pidana, masyarakat pencari
keadilan secara terus menerus tidak lagi percaya terhadap institusi hukum.
Ujung-ujungnya, saat ini beberapa masyarakat mulai menampakkan serta memberikan
tekanan pada institusi penegak hukum baik itu kepolisian, kejaksaan, peradilan
dan advokat. Tekanan yang diberikan masyarakat bisa berlangsung dalam skala
kecil hingga skala besar dengan melakukan pelecehan terhadap proses persidangan
ataupun pengrusakan kantar-kantor institusi penegak hukum yang dianggap sebagai
representasi penegak hukum. Hal ini karena makin kuatnya rasa kecewa pencari
keadilan akibat tindakan aparatur penegak hukum yang telah menjauh dari nilai
keadilan. Pada dasarnya, dalam penegakan hukum pidana selalu ada 2 (dua) aspek
yang saling berbenturan yaitu aspek individu dengan aspek kepentingan umum.
Pada kepentingan individu akan selalu menghendaki adanya kebebasan pribadi tapi
disisi lain aspek kepentingan umum menghendaki terciptanya social orde
sebagaimana termaktub dalam aturan hukum.
Dengan
perbenturan dua aspek ini, sangat diperlukan harmonisasi guna terciptanya
keseimbangan menuju ketertiban dan keadilan. Dalam hal ini, idealnya pada suatu
proses peradilan pidana, penegak hukum haruslah mempertimbangkan tujuan hukum
itu sendiri yaitu; kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Tapi,
kenyataannya agar terpenuhinya ketiga tujuan hukum ini sangat mustahil karena
seringnya perbenturan antara masing-masing tujuan hukum tersebut. Untuk itu,
diperlukan aparatur penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, peradilan dan
advokat) yang mampu berpikir serta bertindak holistic dan bukan sekedar corong
undang-undang yang malah melupakan pokok dari hukum itu sendiri. Untuk
mewujudkan aparatur penegak hukum yang berpikir dan bertindak holistic bukanlah
pekerjaan mudah karena telah berurat dan berakarnya pola pikir aparatur penegak
hukum yang jauh dari nilai-nilai holistic.
Dalam
hal ini, diperlukan aparatur penegak hukum dengan mentalitas baik serta selalu
menjunjung tinggi sumpah profesinya masing-masing. Bagaimanapaun baiknya produk
perundang-undangan tanpa mentalitas baik aparatur penegak hukum maka penegakan
hukum yang bermartabat dan berkeadilan tidak akan pernah mampu diwujudkan dan
hanya sekedar menjadi teori perkuliahan semata di bangku-bangku fakultas hukum di negeri ini. Adagium hukum telah jelas menggambarkan hal ini “perudang-undangan
yang baik dengan aparatur penegak hukum yang jelek maka akan menghasilkan
penegakan hukum yang jelek pula serta perundang-undangan yang jelek dengan
aparatur penegak hukum yang baik akan menghasilkan penegakan hukum yang baik”.
Tapi, alangkah lebih baiknya apabila kita semua mampu mewujudkan
“perundang-undangan yang baik dengan penegak hukum yang baik demi terwujudnya
penegakan hukum yang bermartabat dan berkeadilan”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar